SISTEM PENDIDIKAN KITA
Setiap masa ganti penguasa, terjadi aturan dan atau peraturan yang ada, dan semua itu melintas menerobos ke semua bidang yang ada. Tak kecuali sistem pendidikan yang ada. Sistem pendidikan kita, dalam hal ini kurikulum, selalu mengalami perubahan, pergantian dari kurikulum yang ada berganti ke kurikulum siapa yang menjadi penguasa pendidikan, dalam hal ini menterinya.
Apakah setiap perubahan atau ganti kurikulum akan memperbaiki mutu pendidikan kita. Sebuah pertanyaan yang mungkin akan membuat kita tanda tanya juga. Walau nota bene sebenarnya pergantian itu bertujuan untuk memperbaiki dan atau menyesuaikan perkembangan yang terjadi. Tapi apa yang terjadi.
Kekerasan di dunia pendidikan akhir-akhir ini membuat kita miris sekali. Perundungan terjadi, di mana sekelompok siswa melakukan kekerasan, dan dari satu kekerasan belum tuntas terurusi, teratasi. Ada kekerasan lainnya yang membuat kita bertanya tanya tentang sistem pendidikan yang ada.
Dari kurikulum K13 berganti ke kurikulum merdeka tidak sedikit kendala yang harus dihadapi, terutama para pengajar, dalam hal ini guru, individu yang secara langsung menghadapi anak didik dalam proses pembelajaran. Secara langsung maupun tidak langsung mengalami kerepotan juga.
Kurikulum K 13 belum tuntas, dalam arti belum terpahami secara tuntas. Sudah beralih dan atau berganti kurikulum baru, yakni kurikulum merdeka. Dan sebagaimana terpapar di atas, dimana ganti penguasa, akan ganti peraturan yang ada. Setiap ganti peraturan yang ada, siapa yang terkena peraturan kali pertama merasakan peraturan itu. Sebagaimana pergantian kurikulum K 13 ke kurikulum merdeka, siapa yang paling kena dampaknya.
Disinilah kita perlu merenung sejenak tentang system pendidikan kita yang akhir-akhir ini serasa tercerabut dari akarnya. Bahkan dalam konteks tersendiri apa yang terjadi di masyarakat pada umumnya, khususnya dalam dunia pendidikan sendiri yang begitu banyak peraturan dari satu ke yang lainnya sangat membebani guru sendiri, tuntutan ranah administrasi haru terpenuhi, sementara tuntutan mengajar juga harus terpenuhi.
Dalam hal tuntutan administrasi, secara tidak langsung akan mengurangi konsentrasi guru dalam tuntutan mengajar. Disinilah keseimbangan harus dicarikan solusinya, tidak saling mengurangi, tapi saling melengkapi. Begitu juga dengan adanya tuntuyan kurikulum dalam hal ini system pendidikan yang ada. Jangan sampai kemerdekaan belajar menjadi keblablasan hingga melupakan pendidikan budi pekerti yang sebenarnya, tidak hanya sekedar wacana.***
(Suyitno, S.Pd, M.Pd) karyanya berupa puisi, cerpen dan esai sudah dimuat di beberapa media massa, antara lain di Suara Karya, Republika, Sastra Sumbar, Media Indonesia dan lain-lain. Puisi-puisinya terkumpul di beberapa antologi puisi, antara lain Negeri Awan (2017), Festival Bangkalan (2017), Ruang Tak Lagi Ruang (2017), Kesaksian Tiang Listrik (2018), Negeri Bahari (Negeri Poci 2018), Jejak Sajak Batu Runcing (2018), Sabda Alam (2019), Zamrud Khatulistiwa (2019), Membaca Hujan di Bulan Purnama (Tembi, 2019), Biografi Tepung (2021), PMK 8 (2021) dan lain-lain. Juga dalam Antologi “Bersetubuh Dengan Waktu” (2014), “Dari Cinta Ke Negara” (2015), “Rasa Ku Rasa” (2016) dan Kumpulan Cerpen “Sepeda Pancal” (2016), “Gapura Menapak Jejak Mojopahit” (2018), “Pemulung Diksi” (2019), Lampiaskan Keinginan (2021), Dengan Apa Aku Mencintaimu (2022)
Dosen di Institut Agama Islam Uluwiyah Mojokerto. Mendirikan Kampung Literasi “AMANGKUCITA”, dan Penggiat Gerakan Puisi Menolak Korupsi (PMK).