Hampir dua bulan aku susah tak aktif masuk kantor. Tapi masih ada saja yang kontak atau mencari ke kantor mengurus sesuatu keperluannya yang selama ini aku kerjakan. Dan setiap di kontak baik lewat WA maupun telepon, aku hanya menjawab secara klise saja.
Aku sengaja tak berterus terang, karena aku rasa mereka akan tahu sendiri bila masa dinasku sudah habis.
“Lho, sampeyan kok tak pernah ngantor” tanya Pak guru yang kebetulan bertemu di sebuah warung kopi.
“Apa masih perlu?” tanyanku
“Wah, sampiyan ini gimana, selama ini yang nguru nasib guru sampeyan” katanya panjang lebar, dan aku hanya diam saja mendengarkan.
Sambil seruput kopi dan menikmati sebatang rokok, aku dengarkan saja apa yang dibicarakan. Aku tak membenarkan atau menyalahkan apa yang dibicarakan. Bagiku selama menjadi abdi negara, aku berusaha semampunya mengerjakan pekerjaan yang ada secara professional.
Pak guru berhenti bicara saat ada seorang Bu guru masuk ke warung, dan sepintas aku lihat siapa yang datang. Tiba-tiba Bu guru tersebut nyletuk.
“Wah, kebetulan ketemu Pak Nono” katanya sambil memanggil temannya yang ada di luar. Temannya yang dipanggil masuk ke warung, dan aku hanya bisa berguman asem ketemu mereka.
“Pak, aku duluan!” pamit Pak guru
“Monggo” jawabku singkat sambil melanjutkan seruput kopi yang tinggal sedikit. Setelah seruput kopi aku berdiri mau melanjutkan cerita hari ini.
“Mau kenama, Pak?” tanya salah satu Bu guru yang kebetulan aku kenal akrab, yakni Bu Ambar.
“Iya pak, mau kemana?” taanya Bu guru satunya dan juga aku kenal akrab, yakni Bu Dian.
Dan mereka berdua duduk di pojok ruangan, kayaknya sudah pesan menu makanan, dan tinggal menunggu menu makanan itu datang. Warung ini memang langgangan para guru bahkan sebagian besar kosumennya berekja sebagai abdi negara. Aku sendiri sering ke warung ini, biarpun hanya membeli kopi, karena rasa kopinya beda dengan yang lain.
Aku mau membayar kopi yang sudah habis aku seruput, tapi penjual menolak karena harga kopi sudah dibayar Pak guru.
“Terima kasih, Bu” kataku sambil ingin berlalu dan ke luar
“Pak, jangan pergi dulu, ini pesanannya sudah datang!” Kata Bu Ambar menghentikan langkahku. Sepintas aku lihat di meja makan yang dihadapi Bu Ambar dan Bu Dian. Aku tak mungkin bisa menolak, bukan karena yang ada di meja makan menu yang istimewa, sop buntut, minuman kesukaanku, dan juga sebungkus rokok kesukaanku, karena Bu Ambar dan Bu Dian sudah tahu kesukaanku.
Selama aktif masuk kantor sekian tahun, mungkin hanya Bu Ambar dan Bu Dian yang punya hubungan persaudaraan, bahkan suami-suaminya sydah merasa paham kuga kenal aku dengan baik, itulah yang membuat aku tak bisa menolak. Ditambah wajah dan potongan body mereka berdua di atas rata-rata, teman-teman sekantor merasa heran kenapa aku bisa begitu akrab dengan Bu Ambar dan Bu Dian.
“Ayo, pak!” kata Bu Ambar membuyarkan lamunganku
“Mikir apa, to, Pak?” tanya Bu Dian
“Wah, ini tadi kok bisa kita ketemu” kataku sambil berusaha duduk santai saja dari sorot mata orang-orang yang ada di dalam warung.
“Santai saja, pak. Kita sudah ambil posisi yang aman” kata Bu Dian sambil menikmati makanannya.
“Sampeyan berdua ini ngelemput, ya?” tanyaku karena bila melihat jam dinding yang ada di tembok, masih pukul 11.00 WIB
“Ya enggaklah, pak. Kebetulan ada tugas luar, sekalian cari makan, e dilalah ketemu sampeyan” kata Bu Dian
“Terus!”
“Kebetulan juga, ke kantor tak ketemu sampeyan, padahal kemarin kami juga ke kantor ingin menemui sampeyan” kata Bu Ambar dan mengatakan keinginannya menemui aku di kantor.
Aku memang belum memberitahu bila sudah purna, dan tak aktif masuk kantor lagi, aku meresa tak begitu penting memberitahukan. Sambil menikmati hidangan kami bicara kesana kemari, juga bicara situasi di kantor selama Bu Ambar dan Bu Dian mencariku di kantor. Menurutnya, situasi serta pelayanan di kantor jauh berbeda, apalagi tanya soal kepegawaian tak ada yang bisa menjawab dan atau memberi solusi.
“Tak kayak sampeyan, biarpun tak bisa bantu, tapi mau member solusi”
“Kan ada Pak Maman, Pak Dono atau Bu Siti” kataku
“Ya, tapi mereka terlalu saklek dan tak mau member solusi” kata Bu Dian
“Sebenarnya, kenapa sampeyan gak aktif ke kantor?” tanya Bu Ambar
Aku diam dan tak menjawab, “Wah, sudah keying aku!” kataku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Bu Ambar berdiri dan melangkah ke kasir membayar semua makanan yang telah kami habiskan. Dan begitu balik sambil duduk lagi, Bu Ambar berkata.
“Katanya sampeyan pesiun, ya!”
“Begitulah” jawabku singkat
“Nah, benarkan Bu Dian” kata Bu Ambar
“Mbok ya pamitan, biar aku tak !” kata Bu Dian tak melanjutkan kalimatnya karena dipotong Bu Ambar.
“Iya, setidaknya memberitahu kita berdua”
“Maaf, aku sengaja tak pamitan atau memberitahu. Karena aku rasa sampeyan berdua atau semua guru akan tahu sendiri” kataku
Kami berpisah dengan beberapa janji yang aku rasa tak berlebihan, karena Bu Ambar dan Bu Dian berharap aku masih siap membantu keperluan mereka berdua bila mengurus kepeluan kedinasan.
***
(Suyitno, S.Pd, M.Pd) karyanya berupa puisi, cerpen dan esai sudah dimuat di beberapa media massa, antara lain di Suara Karya, Republika, Sastra Sumbar, Media Indonesia dan lain-lain. Puisi-puisinya terkumpul di beberapa antologi puisi, antara lain Negeri Awan (2017), Festival Bangkalan (2017), Ruang Tak Lagi Ruang (2017), Kesaksian Tiang Listrik (2018), Negeri Bahari (Negeri Poci 2018), Jejak Sajak Batu Runcing (2018), Sabda Alam (2019), Zamrud Khatulistiwa (2019), Membaca Hujan di Bulan Purnama (Tembi, 2019), Biografi Tepung (2021), PMK 8 (2021) dan lain-lain. Juga dalam Antologi “Bersetubuh Dengan Waktu” (2014), “Dari Cinta Ke Negara” (2015), “Rasa Ku Rasa” (2016) dan Kumpulan Cerpen “Sepeda Pancal” (2016), “Gapura Menapak Jejak Mojopahit” (2018), “Pemulung Diksi” (2019), Lampiaskan Keinginan (2021), Dengan Apa Aku Mencintaimu (2022)
Dosen di Institut Agama Islam Uluwiyah Mojokerto. Mendirikan Kampung Literasi “AMANGKUCITA”, dan Penggiat Gerakan Puisi Menolak Korupsi (PMK).