cerpen, suyitno ethex, toyeng

TOYENG

Apa yang mereka bicarakan tak lepas dari kehidupan setiap hari. Tentang pekerjaan, kebutuhan hidup, harga pasar dan kegemarannya. Tapi untuk hari ini, mereka membicarakan seseorang, eantah ada apanya orang itu, kok menjadi bahan pembicaraan di warung kopi pagi imi.

Mereka berbicara begitu gayeng sambil seruput kopi. Poud dan Gondes semacam narasumber yang memberikan penjelasan kepada peserta seminar atau pelatihan. Sedangakn Kosim semacam moderatornya yang memeberikan kesempatan pada peserta seminar untuk bertanya. Gondes menceritakan bagaimana tingkah polah Toyeng semasa hidupnya.

Siapa Toyeng itu, sebuah pertanyaan yang timbul dalam pikiranku. Karena selama ini aku tak mengenal nama itu. Apa benar kehidupannya penuh dengan ketidakjelasan. Suka mabuk-mabuan. Luntang lantung tak punya pekerjaan. Aku ikuti pembicaraan mereka dengan berbagai pertanyaan yang ada di dalam pikiran. Dan aku merasa kurang yakin bila Toyeng yang mereka bicarakan seburuk apa yang mereka ceritakan.

Setiap pagi, matahari agak meninggi kisaran pukul 09.30 WIB, aku ke warung kopi yang ada di perbatasan desa, dekat sawah yang tertanami padi, dan tumbuhnya pagi terlihat kurang sempurna karena kekurangan, kalaupun ada air harus bergiliran dan dibagi rata setiap petaknya. Disinilah sering terjadi pertengkaran antara satu petani dengan petani lainnya karena ada saja petani yang nakal.

Suatu malam terjadi keributan hamya gara-gara ada petani tak mau menunggu gilirannya memakai air. Sementara petani yang tiba gilirannya memakai air datang ke sawah ingin menggunakan haknya, tapi air mengalir ke sawah lain, dan semua itu terjadi karena kebijakan matawulu (seorang warga yang ditugasi) mengatur irigasi yang ada.

Di warung kopi sudah berkumpul beberapa warga desa yang kebetulan hari ini sedang kerja bakti membersihkan selogan dari sampah-sampah, juga memangkas pohon yang agak tinggi, karena musim hujan dimungkinkan tak lama lagi akan datang.

“Kasihan juga dia, hidup sendiri dan sudah lama pisahan sama istrinya” kata Poud, membicarakan Toyeng, dan aku tak tahu siapa itu Toyeng. Menjadi bahan pembicaraan yang gayeng, dan pada umumnya mereka membicarakan tingkah polah Toyeng selama hidupnya. Poud begitu gambling dan jelas berbicara tentang Toyeng. Dan Gombes sesekali menyela apa yang dikatakan Poud.

“Aku juga pernah kena akal bulusnya” kata Gombes

“Tak hanya kamu saja, Bes” sela Kamit sambil nyeruput kopinya yang sejak tadi dituangkan ke lepek.

Tak ada yang bicara tentang kebaikannya, semua pada umumpnya bicara tentang kejelekannya, tingkah polahnya yang suka mabuk-mabukan, tiap hari keluyuran tak punya pekerjaan. Siapasih Toyeng itu? Tanyaku dalam hati, dan akupun penasaran. Tapi aku tak mau memutus obrolan memerka, aku dengarkan saja apa yang mereka bicarakan.

Benarkah Toyeng suka minuman keras, sejenis arak. Benarkah Toyeng suka ngakali temannya. Dan banyak pertanyaan lain yang mungkin membuatku semakin tak yakin akan kebenaran apa yang mereka bicarakan.

“Kemarin saja, dia minta aku uang, tapi tak kuberi” kata Darto sambil menyulut rokok dan bercerita tentang Toyeng.

“Kasihan dia!” kata Puud sambil membenahi duduknya agar lebih nyaman

“Sebenarnya, siapasih Toyeng itu?” tanyaku akhirnya disela-sela pembicaraan mereka.

“Lho, kamu tak tahu, tah” kata Darto, “Itu lho, Harto, suaminya Bu. Ana”

Plek, aku tersentak dan ternyata yang dibicarakan sejak tadi masih ada hubungan keluarga dengan aku. Aku selama ini tak tahu, bila Mas Tono itu dipanggil Toyeng oleh teman-temannya. Sebagai keluarga, aku merasa kurang enak juga, dan bahkan merasa mangkel mendengarkan pembicaraan mereka, setelah tahu siapa yang sebenarnya dibicarakan.

Apalagi yang bersangkutan sudah meninggal dunia, yang kata tetangganya meninggal sendirian di rumah. Memang setahuku kehidupannya tak teratur, rumah tangganya tak rukun, dan sudah pesah-pisahan lama dengan istrinya.  Istirnya pulang dan tinggal di rumah ibunya, sementara ia sendirian di rumah. Anaknya dua, dan ikut ibunya. Anaknya laki-laki dan perempuan, yang perempuan sudah sarjana, sedangkan yang laki-laki masih SMA.

Anak laki-lakinya begitu dekat dengannya, bahkan setiap hari bertemu walau hanya sedakar ingin tahu keadaannya masing-masing. Bahkan setiap pagi Mas Tono menemui anak laki-lakinya dengan cara mencegat anaknya yang berangkay sekolah disebuah tempat tertentu.

***

Aku berharap Mas Harto sudah tak lagi jadi bahan pembicaraan di warung kopi. Apalagi Mas Harto sudah meninggal, dan biar tenang dialamnya. Tapi harapanku bertepul sebelah tangan, karena mereka masih membicarakan Mas Harto. Dan aku tak bisa mencegah, apalagi melarang mereka.

Semua aku maklumi, karena mereka tak ada yang tahu bila aku masih ada hubungan famili dengan Toyeng, dan aku pun tak mau memberitahu mereka. Karena aku piker, apa untungnya memberitahu mereka, bahkan mungkin aku malu sendiri nila memberitahu mereka.

Sebenarnya aku sudah merasa malu mendengarkan pembicaraan mereka yang mengungkik kejelekan Toteng (begitu mereka memanggil Mas Tono) selama hidupnya.

“Apakah seburuk itu kelakuannya?” tanyaku sama Poud yang menceritakan kelakuan Toyeng.

“Benar, aku tahu sendiri!” jawab Gondes membnarkan verita Poud

“Jadi”

“Begitulah sebenarnya” kata Poud memberitahu aku bagaimana tingkah polah Toyeng semasa hidupnya.

Aku diam, merenung membayangkan kehidupan Toyeng. Aku menghela nafas mengingat bagaimana konyak hubungan famili sama Toyeng, di mana setiap berpapasan tak pernah tegur sapa, dan aku selalu membatin tentang keberadaannya yang setiap hari tak punya pekerjaan tetap. Bahkan aku dan dia tak pernah saling berbicara, setidaknya tanya tentang rumah tangga masing-masing.

Suatu pagi aku lihat dia berada di sebelah pom mini milik Fasoli, duduk di atas motor menunggu seseorang. Entah siapa yang ditunngu, karena aku tak ingin tahu siapa yamg ditunngu. Aku langsung pergi dan tak memperhatikan lagi. Apalagi jalan begitu ramai kendaraan, terutama motor yang meraja memenuhi jalan, baik anak-anak yang berangkat sekolah maupun para pekerja yang berangkat ke tempat pekerjaan.

Bentuk body tubuhnya memang kerempeng, dan terlihat kurang terawat, juga mungkin makannya tak teratur. Terlihat awut-awutan, mungkin merasa putus asa dengan keberadaannya sendiri. Punya istri, tapi tak pernah berkumpul sama istrinya, apalagi bermesraan disaat malam-malam yang dingin, bertemu saja jarang. Kalaupun bertemu hanya sebentar saja, itupun bila terpaksa atau kepergok tanpa sengaja.

Sama anaknya yang laki-laki sering ketemu, bahkan setiap pagi menemui anaknya laki-laki yang mau berangkat sekolah. Di sebelah pom mini milik Faisol selalu menunggu anaknya, yang kata salah seorang, entah benar atau salah, Toyeng bukannya memberi tambahan uang saku buat anaknya, tapi minta jatah atau uang pada anaknya, dan itu mungkin jatah itu sudah disiapkan ibunya.

Suatu pagi matahari agak meninggi, sekitar pukul 06.45, aku mampir di warung kopi, melepas lelah dari ngontel sepeda.

“Kopi!”

“Teh saja” kataku sabil melihat ke jalan yang ramai kendaraan, motor hilir mudik bergantian. Aku lihat, Mas Tono lewat mengedarai motor, wajahnya terlihat lelah mungkin semalam kurang tidur.

“Lihat siapa?” tanya Naryo penjual kopi

Aku tak menjawab

“Toyeng” kata Naryo merasa tahu siapa yang aku perhatikan, “Tiap pagi ia mencegat anaknya yang berangkat sekolah” lanjut Naryo

“Mungkin nambahi uang saku” kataku

“Mungkin juga” kata Naryo sambil menyodorkan segelas teh hangat, “Tapi menurut Sariden, yang mengetahui, bukannya memberi saku, malah minta uang pada anaknya”.

“Ah, apa benar?” tanyaku

“Benar, aku tahu sendiri” jawab Sugik yang baru datang dan masuk warung.

“Dan tak sekali aku melihatnya” kata Sariden menguatkan apa yang dikatakan Sugik.

Ternyata tak hanya di warung kopi pojok kampong saja Toyeng jadi bahan pembicaraan. Di warung kopi depan Puskesmas, menyeberang jalan, tepatnya di pertigaan jalan, juga jadi bahan pembicaraan. Tapi di warung ini tak seramai di warung kopi pojok kampong, yang nota bene dekat rumahnya Toyeng.

Aku hanya menghela nafas, kalaupun benar apa yang dikatakan mereka. Aku tak bisa berbuat apa-apa, dan hanya bisa menahan rasa kasihan. Apalagi setelah tahu, brgitu ketemu anaknya, dan entah apa yang dibicarakan. Mas Tono pergi dan entah kemana tujuannya, karena arah motornya bukan kearah jalan di mana rumahnya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *