Mengenal Sastra Bulan Purnama (SBP) di Tembi Jogjakarta tanpa sengaja, atau setidaknya secara kebetulan saat itu pada tahun 2013, penulis aktif dan mengikuti kegiatan roud show PMK (Puisi Menolak Korupsi) ke beberapa kota, dan saat mau roud show ke Purbalingga, bermalam dulu di Jogjakarta, penulis diajak teman-teman ke Rumah Budaya Tembi, itulah kali pertama penulis datang ke Rumah Budaya Tembi yang saat itu ada sebuah acara.
Blablabla, begitu kenal sama Om Untoro, langsung akrab berkelanjutan, penulis ditawari untuk lauching buku antologi puisi, dengan senang sorak hore penulis terima tawarannya, apalagi tanpa syarat yang ketat segala. Buku antologi puisi penulis pun akhirnya tampil di Rumah Budaya Tembi, yakni buku “Dari Cinta ke Negara”. Ini terlaksana pada tahun 2015, dimana dinamika perkembangan sastra (khususnya puisi) semakin penuh persaingan, bukan berarti persaingan menjadi juara.
Sebuah proses yang panjang membentang ruang dan waktu. Bila sekarang Sastra Bulan Purnama (SBP) sudah berlangsung selama 12 tahun, berarti SBP berdiri atau mulai tampil pada tahun 2012, dan penulis baru mengenalnya pada tahun 2013, itupun di bulan bulan terakhir tahun 2013, bahkan kalau tak salah malah awal tahun 2014 penulis baru agak sering datang ke Rumah Budaya Tembi. Apalagi saat Om Untoro berkenan menerbitkan salah satu buku puisi penulis, dan mengajak penulis ikut dalam kegiatan buku antologi yang bekerja sama dengan salah satu lembaga.
Jejak sastra bulan purnama di Tembi, secara tak langsung memberikan sebuah catatan tersendiri, dimana tak sedikit komunitas yang hampir sama seperti SBP, tak berumur panjang sebagaimana Sastra Bulan Purnama, di Tembi. Perkembangan sastra, khususnya puisi, yang begitu pesat memberikan catatan tersendiri buat Sastra Bulan Purnama (SBP) di dalam bergerak menyikapi perkembangan yang ada.
Perjalanan 12 tahun bukanlah sebuah perjalanan yang mudah, apalagi perjalanan sastra (khususnya puisi) yang nota bene tak laku dijual sebagaimana yang lainnya, seperti pagelaran musik yang laku jual serta gampang cari sponsor. Sebuah prestasi tersendiri buat SBP, di mana tak sedikit komunitas sastra tumbang tak mampu bertahan, bahkan hidup enggan mati tak mau. Sastra Bulan Purnama (SBP) di Tembi terus bergerak mengalir, dan semoga terus mengalir bergulir hingga dunia ini berakhir.
Jejak sastra bulan purnama, di Tembi serasa memberikan sebuah pelajaran tersendiri, bagaimana mengelola sebuah even sastra (khususnya baca puisi) bisa berjalan kontiyu mengalir sesuai yang diagendakan. Dan itu semua bukan pekerjaan yang mudah, khususnya buat Om Ons Untoro. Sebuah pekerjaan yang memerlukan dedikasi tinggi serta kepedulian yang tinggi terhadap perkembangan puisi yang semakin penuh warna di dalam dunia sastra.
Bahkan dari Sastra Bulan Purnama (SBP) di Rumah Budaya Tembi, terakhir atau tidak, muncul nama-nama penulis puisi (penyair) baru dalam arti sudah lama nulis puisi tapi baru dikenal oleh kalangan penyair itu sendiri. Dan SBP juga bisa dikatakan sebuah tempat bagi penyair pemula maupun yang sudah punya nama untuk menunjukkan karyanya.
Jejak sastra bulan purnama, di Tembi sejauh yang penulis ikuti. Memberikan sebuah pelajaran sekaligus pengalaman tersendiri di dalam bergelut berproses, dalam hal ini menulis puisi. Dan juga pembelajaran sebuah komunitas sastra di dalam menggeliatkan sastra itu sendiri, khususnya puisi. Bagaimana bisa bertahan dan terus berproses dari segala persaingan yang ada.
Karena tak menutup kemungkinan, setiap kegiatan atau apapun namanya, tak mungkin luput dari persaingan. Walaupun tak mencari sebuah kemenangan, dan hanya untuk bertahan secara kontiyu terus bergerak saja, itu bukan perkara gampang. Apalagi harus mendatangkan penyair-penyair dari berbagai kota yang ada di Indonesia, yang nota bene mereka juga punya komunitas di kotanya masing-masing.
Berkali, entah berapa kali penulis datang di Sastra Bulan Purnama (SBP) di Tembi. Penulis bertemu penyair-penyair dari Jakarta, Semarang, Magelang, Surabaya, Solo, dan kota-kota lainnya yang tak mungkin penulis sebutkan satu persatu. Mereka datang dan bertemu di Tembi Rumah Budaya, Jogjakarta dalam satu tujuan menghidupi puisi, bukan hidup dari puisi.
Sekadar menyebut nama, penelis bertemu Herman Syahara, Umi Kulsum, Kurniawan Junaedhie, Daladi Ahmad, Kurnia Effendi, Adri Darmadji Woko, Heru Mugiarso, dan lainnya bila ditulis semua akan menghabiskan beberapa lembar kertas. Dari mereka penulis ngangsu kaweruh tentang puisi yang sebenarnya puisi. Dan di Sastra Bulan Purnama (SBP) Tembi Rumah Budaya, terjalin erat persahanatan antara satu sama lain, biarpun mereka datang dari beberapa daerah yang tentunya membawa keragaman tersendiri. Jejak Sastra Bulan Purnama (SBP) di Tembi benar-benar merupakan jejak kegiatan sastra (khususnya puisi) yang berlangsung ajeg serta kontiyu setiap bulan, hingga sampai sekarang sudah memasuki ke 12 tahun, dan patut diberikan sebuah apresiasi tersendiri. Karena tak semua komunitas dan atau lembaga lain yang bergerak dalam perpuisian bisa bertahan sebagaimana Sastra Bulan Purnama (SBP). Semoga SBP terus berkelanjutan, biarpun tak lagi berlangsung di Tembi Rumah Budaya, yang telah memberikan jejak sebagai tanda asalmu asal Sastra Bulan Purnama.
(Suyitno, S.Pd, M.Pd) karyanya berupa puisi, cerpen dan esai sudah dimuat di beberapa media massa, antara lain di Suara Karya, Republika, Sastra Sumbar, Media Indonesia dan lain-lain. Puisi-puisinya terkumpul di beberapa antologi puisi, antara lain Negeri Awan (2017), Festival Bangkalan (2017), Ruang Tak Lagi Ruang (2017), Kesaksian Tiang Listrik (2018), Negeri Bahari (Negeri Poci 2018), Jejak Sajak Batu Runcing (2018), Sabda Alam (2019), Zamrud Khatulistiwa (2019), Membaca Hujan di Bulan Purnama (Tembi, 2019), Biografi Tepung (2021), PMK 8 (2021) dan lain-lain. Juga dalam Antologi “Bersetubuh Dengan Waktu” (2014), “Dari Cinta Ke Negara” (2015), “Rasa Ku Rasa” (2016) dan Kumpulan Cerpen “Sepeda Pancal” (2016), “Gapura Menapak Jejak Mojopahit” (2018), “Pemulung Diksi” (2019), Lampiaskan Keinginan (2021), Dengan Apa Aku Mencintaimu (2022)
Dosen di Institut Agama Islam Uluwiyah Mojokerto. Mendirikan Kampung Literasi “AMANGKUCITA”, dan Penggiat Gerakan Puisi Menolak Korupsi (PMK).