Pameran Ilustrasi Karya Sastra Masa Majapahit “Parwasagara” – Parwasāgara terdiri dari dua kata dari bahasa Jawa kuno, yaitu parwa yang berarti ‘cerita’, dan sāgara yang artinya ‘samudra’ atau ‘laut’, sehingga apabila dimaknai secara bebas dapat dipahami bahwa parwasāgara berarti ‘samudra cerita’.
Konon, Parwasāgara adalah sebuah antologi karya sastra yang memuat berbagai macam cerita. Kalau membandingkan pada sastra Timur Tengah, mungkin mirip dengan hikayat 1001 cerita.
Sayangnya, hingga saat ini Parwasāgara tersebut belum terbukti keberadaannya. Zoetmulder (1983: 49) dalam Kalangwan, menyebutkan bahwa Parwasāgara adalah salah satu karya Pu Prapañca yang dinilai ‘tidak sukses’ oleh Pu Prapañca sendiri.
Atas justifikasi tersebut, Zoetmulder lalu menduga bahwa akibat rasa rendah diri Pu Prapañca itulah Parwasāgara tidak sampai di tangan generasi hari ini. Di sisi lain, Zoetmulder sudah mencoba menelusuri karya-karya sastra anonim dari masa yang sezaman dengan Negarakrtagama untuk melacak keberadaan Parwasāgara, namun Zoetmulder tidak pernah menemui karya yang merepresentasikan judul Parwasāgara.
Akses yang Memudar?
Menilik dari judul Parwasāgara saja sudah dapat kita tangkap bahwa karya tersebut berisikan cerita-cerita yang eksis di masa Majapahit, dan bisa jadi cerita tersebut merupakan cerita yang tidak pernah ditemukan di Kakawin, Kidung, atau Prasasti dari masa Majapahit yang telah kita temui sejauh ini.
Sungguh disayangkan karya berjudul Parwasāgara tersebut tidak sampai di tangan kita.
Sebab, kita otomatis kehilangan akses terhadap apa saja cerita yang dulu eksis di masa Majapahit. Jangankan mengetahui cerita yang eksis di masa Majapahit, bahkan untuk tahu cerita Majapahit apa saja yang sudah didokumentasikan, dituliskan, dikomikkan, bahkan difilmkan saja belum tentu diketahui oleh anak muda atau generasi Z saat ini.
Mojokerto, Gen Z, dan Persentuhan Karya Sastra Masa Majapahit
Mojokerto, sebagai daerah yang mengusung slogan Spirit of Majapahit, merupakan lumbung sumber sejarah dan cerita-cerita Majapahit. Namun, akses pengetahuan terhadap karya sastra Jawa di masa Majapahit belum banyak mendapat perhatian, sehingga tidak banyak Gen Z yang tahu, sebab hanya tersimpan di Museum Majapahit ataupun di ruang-ruang digital internet.
Selain itu, sejauh ini di Mojokerto belum ada kegiatan kebudayaan yang sifatnya ‘menjemput bola’, yakni menghadirkan produk-produk kebudayaan, khususnya sastra Jawa masa Majapahit, di ruang publik tempat berkumpulnya Gen Z dengan pendekatan pop culture untuk menarik atensi Gen Z dalam mempelajari sastra Jawa di masa Majapahit.
Mungkin saja, kisah-kisah sastra Jawa masa Majapahit yang selama ini tersentralisasi menjadi faktor penyebab kurangnya apresiasi Gen Z terhadap karya sastra Jawa masa Majapahit. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya desentralisasi karya-karya sastra Jawa masa Majapahit agar tidak hanya terpusat di satu tempat.
Kemungkinan besar, mayoritas Gen Z di Mojokerto jelas paham tokoh-tokoh seperti Hayam Wuruk dan Gadjah Mada, mengingat kurikulum pelajaran sejarah di sekolah yang intens memasukkan dua nama besar Majapahit tersebut.
Namun ketika Gen Z mendapat pertanyaan sederhana seputar alam sastra masa Majapahit seperti: “Siapa pujangga yang menulis Kakawin Sutasoma?”; “Apa nama asli Kakawin Negarakrtagama?; “Apa jenis karya sastra Jawa di masa Majapahit yang bersanding dengan Kakawin namun berbentuk prosa?; dan lain sebagainya, Gen Z belum tentu dapat menjawab.
Menjadi Dasar “Parwasagara”
Atas dasar keresahan terhadap sentralisasi karya sastra Jawa masa Majapahit dan minimnya akses pengetahuan sastra Jawa zaman Majapahit Gen Z terhadap cerita-cerita Majapahit itulah lalu lahir inisiatif untuk menggelar sebuah kegiatan kebudayaan yang inklusif berbentuk pameran sastra-ilustrasi dengan mengusung nilai-nilai historis sastra Jawa masa Majapahit yang beresonansi terhadap semangat pop culture Gen Z berjudul Parwasāgara.
Parwasāgara dipilih menjadi judul kegiatan pameran sastra dan ilustrasi karya sastra Majapahit dengan pertimbangan bahwa kegiatan ini mengusung semangat untuk mengulik dan mengeksplorasi kekayaan cerita-cerita dari masa Majapahit, baik yang bersifat historis maupun fiktif. Kekayaan cerita tersebut lalu disajikan dengan cara-cara inovatif dan lebih mudah diterima oleh Gen Z.
Pameran sastra terwujud dalam transliterasi naskah sastra Jawa masa Majapahit yang dipamerkan melalui kerja kolaborasi dengan para filolog, sementara pameran ilustrasi sastra Majapahit merujuk pada upaya untuk mengalihwahanakan episode tertentu dalam karya sastra Jawa masa Majapahit menjadi bentuk ilustrasi, sehingga merangsang imajinasi Gen Z dan menumbuhkan rasa bangga pada sejarah bangsa.
Pameran Ilustrasi Karya Sastra Masa Majapahit “Parwasagara”
Pameran Ilustrasi Karya Sastra Masa Majapahit “Parwasagara” dilaksanakan pada Sabtu – Minggu, 13 & 14 Juli 2024 di Warung Rakyat, Sooko, Mojokerto.
Parwasagara diinisiasi oleh Fajar Laksana, seorang pekerja di bidang SEO yang juga seorang penulis fiksi / non-fiksi. Adapun yang menjadi perupa di dalam pelaksanaan Parwasagara adalah Fuad Nuriyanto dan Vicko Afriansyah.
Selain pameran ilustrasi, ada juga gelaran kegiatan lain yakni Stand Cukil & Workshop Cukil yang dipandu oleh Abimanyu, dan juga sesi diskusi yang membahas secara khusus kehidupan sastra di masa Majapahit, mengundang akademisi kekunoan dari Universitas Airlangga, Abimardha Kurniawan dan dimoderatori oleh Sri Suryani.
Pameran dibuka pada pukul 13.00 WIB, Sabtu, 13 Juli 2024, sedangkan untuk sesi diskusi dilaksanakan pada hari ke-2 di jam 15.00 WIB sampai selesai.
Kegiatan Pameran Parwasagara didukung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Balai Pelestarian Kebudayaan XI melalui skema Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan 2024.
Selain itu, Parwasagara juga mendapat dukungan dari Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (DKKM), Warung Rakyat, Amangkucitta, Literasi Misteri, SwarupaArt, dan Toko Buku Online Kandank Buku.
Pameran Parwasagara adalah sebuah inisiatif dari Fajar Laksana, sebagai upaya untuk menawarkan visi segar dalam kebudayaan di Mojokerto, membangun jejaring seni-budaya yang inklusif nan sportif, serta melakukan desentralisasi kebudayaan, agar kegiatan serupa dapat tumbuh subur merata di Kabupaten maupun Kota Mojokerto.