Paradigma Pendidikan Suyitno Ethex

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN NASIONAL

Oleh: Suyitno, S.Pd, M.Pd

Paradigma adalah kerangka berpikir. Kerangka berpikir dapat diartikan sebagai pola berpikir. Makna paradigma kemudian berkembang dalam pemakaian sehari-hari. Perkembangan makna itu menjadi pola pikir dan pola tindak.  Dalam konteks ini, paradigma diartikan secara operasional sebagai pola berpikir dan pola bertindak. Bagian ini membicarakan konsep paradigma yang dikaitkan dengan pendidikan. Dikaitkan dengan pembaruan-pembaruan yang harus dan telah dilakukan di dalam dunia pendidikan.  Oleh karena itu, konsep yang dibahas adalah konsep paradigma baru pendidikan.

Paradigma baru pendidikan, dengan demikian adalah pola berpikir dan pola bertindak baru dalam pendidikan. Pola berpikir dan pola bertindak itu menyangkut dengan sikap, prilaku, dan tindakan dalam pelaksanaan  pendidikan. Jadi, paradigma baru pendidikan adalah “pola berpikir dan bertindak baru dalam memandang, menyikapi, dan melaksnakan pendidikan.

Pola berpikir dan pola bertindak baru dalam memandang, menyikapi, dan melaksanakan pendidikan itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor itu meliputi faktor yuridis, faktor teoretis, dan faktor empiris. Dengan adanya ketentuan-ketentuan hukum baru, seperti lahirnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, akan dapat (dan seharusnya) mengubah paradigma. Perkembangan ilmu dan teknologi juga dapat (dan seharusnya) mengubah paradigma. Pengalaman empiris yang dilalui selama ini dalam dunia pendidikan, juga berpengaruh terhadap perubahan paradigma.

Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.  

Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat doubletracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan.

Dengan double tracks ini sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi  untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.

Selain itu dalam paradigma baru pendidikan memiliki suatu model pendidikan yang populer, yaitu:

•   Dilakukan dalam konteks kerangka-nalar demokratis

•   Berbasis pada pengalaman peserta belajar

•   Mengajukan pertanyaan dan masalah

•   Mendorong setiap orang untuk belajar dan mengajar

•   Mencakup level partisipasi yang tinggi

•   Melibatkan perasaan, tindakan, intelektual dan kreativitas orang

•   Menggunakan pendekatan relijius.

•   Dimulai dengan pengalaman sendiri

•   Bergerak dari pengalaman ke analisa

•   Bergerak dari analisa ke perluasan tindakan kolektif

•   Merefleksikan dan mengevaluasi prosesnya sendiri

Paradigma baru sistem pendidikan nasional diharapkan lebih melihat antisipasi terhadap perkembangan di masa depan, termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan otonomi pendidikan. Untuk itu, perlu dipersiapkan sistem pendidikan yang dapat menangani penyelenggaraan desentralisasi pendidikan. “Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana kita bisa mengembangkan suatu pendidikan yang bernapaskan desentralisasi dan sekaligus berdimensi global, sesuai dengan tuntutan masa depan itu,”.

Paradigma sistem pendidikan nasional yang baru harus lebih maju dari paradigma lama. Meskipun paradigma lama itu tidak secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tetapi orang bisa membaca bahwa pendidikan itu adalah pewarisan. Artinya, orientasinya ke belakang dan masa lalu.

Perubahan paradigma itu ditujukan kepada setiap anggota masyarakat yang berkepentingan dengan pendidikan. Hampir semua orang berkepentingan dengan pendidikan. Untuk itu dapat dikelompokkan atas tiga kelompok. Kelompok pertama ada orang-orang yang mengurus dan menunjang pelaksanaan pendidikan. Kelompok ini disebut tenaga kependidikan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Bab I, pasa 1, ayat (5) menyatakan, ” Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.”

Kelompok kedua adalah pendidik. Pendidik menurut undang-undang ini pada  ayat (6) menyatakan, ” Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan”.

Kelompok ketiga adalah pemakai atau pengguna jasa pendidikan. Kelompok ini adalah anggota masyarakat dan peserta didik. Mengenai peserta didik dinyatakan pada ayat (4) undang-undang ini, “Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.”

Tenaga kependidikan, pendidik, dan masyarakat pengguna jasa pendidikan seyogianya mengubah paradigmanya. Mengubah pola berpikir dan pola bertindaknya dalam memandang, menyikapi, dan melaksanakan pendidikan berdasarkan landasan yuridis, akademis, dan empiris. Perubahan paradigma itu hendaknya dilakukan dalam bahasa yang sama, dalam konteks yang sama, dan dari landasan yang sama pula. Dari sinilah diharapkan lahir kebersamaan dalam mengelola, melaksanakan, dan menindaklanjuti hasil pendidikan.

Pada waktu ini paradigma pendidikan masih amat berbeda dengan apa yang dikemukakan. Agar pendidikan dapat menjalankan fungsinya dengan baik harus ada perubahan dan pembaruan paradigma. Hanya dengan paradigma pendidikan baru ini bangsa Indonesia dapat mengharapkan masa depan yang maju, sejahtera, berkeadilan dan bermoral.

Dalam upaya menjawab kebutuhan dan tantangan dunia global saat ini, paling tidak ada dua aspek dalam sistem pendidikan yang dapat kita jadikan bahan kajian dan kita gali untuk dilakukan perubahan menjadi paradigma baru yang berlaku.

Aspek pertama adalah dalam hal metode pembelajaran, sejak dahulu metode pembelajaran kita selalu berorientasi dan bersumber hanya kepada guru dan berlangsung satu arah (one way), kita sepakat bahwa metode ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi dengan tanpa mengenyampingkan bahwa GURU itu tetap harus menjadi insan yang patut di Gugu dan di tiru. Sudah saatnya kini orientasi berubah tidak hanya kepada satu sumber saja (Guru), tetapi harus dilakukan berorientai kepada siswa dan secara multi arah, dengan terjadinya proses interaksi ini diharapkan akan menstimulir para siswa untuk lebih menumbuhkan tingkat kepercayaan dirinya, proaktif, mau saling bertukar informasi, meningkatkan keterampilan berkomunikasi, berfikir kritis, membangun kerja sama, memahami dan menghormati akan adanya perbedaan pendapat dan masih banyak harapan positif lainnya yang lahir dari adanya perubahan tersebut serta pada akhirnya siswa akan dihadapkan pada realitas yang sebenarnya dalam memandang dan memahami konteks dalam kehidupan kesehariannya.

Aspek kedua adalah menyangkut manajemen lembaga pendidikan itu sendiri, seperti kita alami selama ini dimana pada waktu sebelumnya sekolah hanya bergerak dan beroperasi sendiri-sendiri secara mandiri, maka dalam konteks pembelajaran masa kini dan kedepan setiap sekolah harus mempunyai dan membangun networking antar lembaga pendidikan yang dapat saling bertukar informasi, pengetahuan dan sumber daya, artinya sekolah lain sebagai institusi tidak lagi dipandang sebagai rival atau kompetitor semata tetapi lebih sebagai mitra (counterpart).

Memang jika kita pikirkan kembali kedua aspek paradigma baru ini dalam implementasinya tidak akan semudah seperti membalik telapak tangan, akan banyak ekses maupun aspek lainnya yang harus dipikirkan seperti misalnya berakibat akan adanya perubahan dan peran sebuah lembaga pendidikan yang selama ini kita pahami. Namun melalui konteks perubahan ini kelak akan jelas terlihat bagaimana sektor pendidikan akan dapat bersinergi dan seiring sejalan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi, pengetahuan dan bisnis sekalipun, karena output dari suatu pendidikan menjadi lebih berkualitas.***

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *