Suatu ketika, Prabu Hayam Wuruk berburu ke sebuah hutan. Bersama pasukan yang jumlahnya terbilang besar, perburuan yang awalnya diniatkan sebagai hiburan tersebut, entah bagaimana lalu berubah menjadi pembantaian, bahkan pembakaran. Para penghuni hutan yang tidak terima lalu melakukan rapat di tengah kepungan pasukan Majapahit dan kobar api. Dipimpin oleh Raja Hutan, dari rapat itu mereka akhirnya memutuskan untuk pasrah.
Di sisi lain, sebagian dari penghuni hutan teguh untuk terus melawan, seperti yang dilakukan oleh sekeluarga babi hutan. Namun, sejak kapan sekelompok makhluk tanpa akal mampu melawan sekumpulan prajurit?
Kisah penghancuran hutan di atas tercatat di Kakawin Desawrnana, nukilan di atas adalah hasil adaptasi ringkas.
Siapa sangka, Majapahit yang begitu agung, bersikap ‘pengecut’ dengan menghancurkan kehidupan lain? Kalau memang Kakawin Desarnana adalah sebuah Pujasastra, kenapa kisah yang demikian tetap dimasukkan, padahal sudah tepat Pu Prapanca tidak memasukkan Peristiwa Bubat (kalau benar terjadi)? Ataukah kisah pembantaian hutan di atas sebetulnya sanepan?
PARWASĀGARA Sebuah REFLEKSI MAJAPAHIT
Di balik gemerlap nama Majapahit, ada banyak hal yang terlewat untuk dibicarakan oleh masyarakat umum, salah satunya adalah bagaimana kenampakan karya sastra masa Majapahit, dan bagaimana karya sastra Majapahit menggambarkan dunia pada saat itu. Bahwa melalui karya-karya sastra tersebut, Majapahit tidak ada bedanya dengan sebuah cahaya yang menyorot beriringan dengan gelap bayangan.
Masalahnya, seberapa akrab kita mengenal karya sastra masa Majapahit, sebagai individu yang lahir di ‘tanah tilas Majapahit’, maupun sebagai bangsa yang mengklaim meneruskan kejayaan Majapahit?
Ketika kita sudah terlanjur terjebak dalam romantisasi kebesaran Majapahit dengan branding serba Majapahit seperti Full of Majapahit Greatness maupun Spirit of Majapahit, kita malah kurang mengakrabi karya sastra Majapahit, bukankah ini ironi?
Pameran Ilustrasi Karya Sastra Masa Majapahit “Parwasāgara” hadir sebagai inisiatif untuk menawarkan cara baru berkenalan dengan karya sastra Majapahit, yakni menggunakan pendekatan alihwahana ilustrasi, sehingga memberi kemudahan dalam mengimajinasikan bagaimana karya sastra Majapahit memandang dunia.
Selain itu, “Parwasāgara” mengusung semangat inklusivitas serta desentralisasi kebudayaan Nusantara yang selama ini hanya mapan di kota yang telah siap dari segi infrastruktur kebudayaannya.
Selamat menikmati “Parwasāgara”…
Deskripsi Karya Parwasagara
Deskripsi Karya Ilustrasi Media Kain
Kakawin Sutasoma
hlm. 48 – 73
Di sebuah balai pertemuan kerajaan, Sutasoma mendapat wejangan dari Ayahnya (Raja) tentang bagaimana harusnya menjadi pemimpin dunia, disaksikan oleh banyak tamu undangan penting. Di dalam wejangan tersebut Sutasoma harus memimpin dunia dengan adil dan tegas; Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Sutasoma ketika menjadi Raja, antara lain menikah dengan gadis cantik, menyimpan permata manikam, memelihara burung dan memiliki keris, serta makan makanan yang enak. Apabila ada yang berani membantah saat memerintah patut dihukum berat; Pendeta yang menyelewang juga harus dihukum berat.
Namun, Sutasoma menolak wejangan tersebut, menolak dijadikan raja. Sutasoma merasa dirnya bodoh sehingga tidak pantas menjadi raja. Daripada terlibat keruwetan dunia, dan terjebak dalam kesenangan fana. Sutasoma lebih memilih pergi menyendiri ke gunung dan hutan.
hlm.29
Kelahiran Sutasoma. Raja Mahaketu dan permaisuri serta rakyat merayakan lahirnya Sang Budha dalam bentuk manusia (Sutasoma). Langit cerah, orang-orang tersenyum. Orang yang bunguk bisa berdiri tegak, orang yang sakit mendadak sembuh, dan yang lumpuh semuanya pulih. Para wanita menatap cerah lahirnya Sang Budha.
Sumber: I Gusti Bagus Sugriwa, 1985, Sutasoma Ditulis dengan Huruf Bali dan Latin diberi Arti dengan Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia, Bali: Proyek Bantuan Lembaga Pendidikan Agama Hindu
Kakawin Arjuna Wijaya
Hlm.185
Mayabancana. Percakapan Rawana dengan Tuhan. Rawana meminta untuk diberi kekuatan dan selamanya tidak akan tertandingi di semua pertempuran. Oleh Tuhan, Rawana diberi kekuatan (gelar?) Mayabancana.
hlm.242
Arjuna Sahasabrahu memblokir air sungai dengan bersandar di tepian bantaran sungai. Dia sedang bersantai di sungai hingga air sungai terhambat. Di sisi yang tidak teraliri air sungai, orang-orang dan pengiring Arjuna bersuka cita, menikmati pemandangan alam; Sebagian para pasukan siaga menjaga raja mereka. Sementara itu, di sisi yang lain, terjadi banjir hebat karena sungai yang diblokade Arjuna. Orang-orang kesusahan, rumah warga tenggelam, dan para pejabat marah dengan menuding Arjuna.
hlm. 258
Rawana membantai para raja sekutu Arjuna. Rawana mencekik dua orang Raja. Seorang raja yang lain memukul paha kiri Rawana tapi gada yang digunakan memukul paha kiri Rawana hancur lebur. Dua orang raja yang lain patah semua tulang, dan mengucur darah dari hidung dan telinga mereka. Sementara itu, kaki kanan Rawana menginjak mayat-mayat Raja yang telah tewas.
hlm.261
Gugurnya Patih Suwandha. Rawana tertahan trisula di tanah dengan posisi berdiri. Patih Suwanda ditarik rambutnya oleh Dasasya, lalu tangan Dasasya mengayunkan pedang menuju leher Patih Suwandha.
hlm.262
Tiwikrama. Arjuna Sahasabrau bertiwikrama. Tubuhnya membesar, meninggi, tangannya seribu, setiap tangan membawa senjata dewa. Gunung meletus, langit berlidah halilintar. Rawana berlutut menyaksikan keagungan Arjuna Sahasrabahu.
Sumber: Supomo, S. (Ed.). (2013). Arjunawijaya: a kakawin of Mpu Tantular (Vol. 1). Springer.
Kakawin Siwaratrikalpa (Lubdaka)
hlm.453
Suatu malam, Lubdhaka, seorang pemburu dari suku terasing Nisada, berada di atas pohon, sedang di bawahnya terdapat danau. Dia berharap menemukan hewan buruan, tapi tak satupun datang. Dia menunggu, dan takut turun apalagi terjatuh, takut dimangsa hewan buas. Maka dia memetiki bunga Wilwa (pohon) untuk dimakan, lalu salah satu daun yang dia petik jatuh dan menimpa sebuah lingga.
hlm.454
Lubdhaka sakit lalu mati. Jiwanya terombang-ambing di angkasa. Jiwanya ditakdirkan untuk berada di genggaman Dewa Yama, namun Dewa Siwa memerintahkan abdi-abdinya untuk merebut jiwa Lubdhaka dan memasukkan jiwa Lubdhaka ke surga.
Sumber: Zoetmulder, P. J. (2024). Kalangwan: A survey of Old Javanese literature. Brill.
Kakawin Desawrnana (Negarakrtagama)
Pupuh 63 – 70 (66)
Perayaan Sraddha, upacara penghoramatan kepada Sri Rajapatni. Pagi di tepi Sungai, perahu berjejer-jejer. Semua perahu dipenuhi bunga. Petinggi Majapahit dan Rakyat berkumpul. Semua orang membawa sesajian. Ada yang membawa rumah-rumhan yang dipikul, gunungan nasi, para pemusik yang bermain musik sambil berdiri membawa gong. Para biksu melukis sloka di atas perahu.
Pupuh 8
Tata letak Kraton Majapahit: Dikelilingi bata merah, tebal dan tinggi mengitari. Di sisi barat terdapat lapangan luas yang dikellingi parit. Pohon-pohon berjajar panjang. Di sebelah utara berdiri tegak sebuah gapura penuh ukiran. Di sebelah timur ada panggung luhur; Ada juga paseban tempat berkumpul pendeta Siwa-Budha. Di bagian dalam ada tiga tempat suci: Istana timur, Istana selatan (tempat permaisuri dan putri), istana utara. Semua rumah bertiang kuat, berukir indah, warna-warni. Kai-nya dari batu-bata merah, bergambar aneka lukisan. Atap gentingnya menarik perhatian. Di halaman terdapat bunga-bunga.
Pupuh 94
Pu Sutasoma mengakhiri karya Desawrnana (Negarakrtagama). Hari petang, Pu Sutasoma berdiri di luar istana Majapahit memberi sembah pada Raja.
Sumber: https://luk.staff.ugm.ac.id/itd/Jawa/Negarakertagama/Indonesia.pdf
Deskripsi Karya Ilustrasi Cetak
Kakawin Desawrnana (Negarakrtagama)
Pupuh 50
Hayam Wuruk sedang berburu di Hutan Nandawa. Hayam Wuruk menunggang kuda, menarik busur dan panah. Hutan lebat, penuh ilalang. Dari balik bayangan semak, nampak mata kijang menyorot.
Nampak dari atas. Prajurit Majapahit mengepung belantara hutan. Sebagian hutan telah terbakar api. Hewan-hewan berlarian kabur. Beberapa hewan mati tertembus tombak.
Pupuh 51
Para hewan sedang berunding di tengah hutan yang dilahap api yang menyala-nyala. Seekor harimau (Raja Hutan) tua terduduk di atas batu. Hewan-hewan seperti serigala, kijang, kasuari, kelinci, kerbau, dan lain sebagainya, mengitari Harimau untuk berunding tentang serbuan Raja Majapahit.
Pupuh 52
Seorang prajurit Majapahit berkuda, dihadang belasan celeng. Celeng-celeng berekspresi marah, seekor anak celeng mati di tengah dengan tombak menusuk kepalanya.
Pupuh 71-72
Gadjah Mada Wafat.Hayam Wuruk tenggelam dalam kesedihan. Para prajurit bersedih. Gadjah Mada terbarng di atas angin tertutup kain putih.
Sumber: https://luk.staff.ugm.ac.id/itd/Jawa/Negarakertagama/Indonesia.pdf
Kakawin Sutasoma
hlm. 48 – 73
Di sebuah balai pertemuan kerajaan, Sutasoma mendapat wejangan dari Ayahnya (Raja) tentang bagaimana harusnya menjadi pemimpin dunia, disaksikan oleh banyak tamu undangan penting. Di dalam wejangan tersebut Sutasoma harus memimpin dunia dengan adil dan tegas; Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Sutasoma ketika menjadi Raja, antara lain menikah dengan gadis cantik, menyimpan permata manikam, memelihara burung dan memiliki keris, serta makan makanan yang enak. Apabila ada yang berani membantah saat memerintah patut dihukum berat; Pendeta yang menyelewang juga harus dihukum berat.
Namun, Sutasoma menolak wejangan tersebut, menolak dijadikan raja. Sutasoma merasa dirnya bodoh sehingga tidak pantas menjadi raja. Daripada terlibat keruwetan dunia, dan terjebak dalam kesenangan fana. Sutasoma lebih memilih pergi menyendiri ke gunung dan hutan.
hlm.29
Kelahiran Sutasoma. Raja Mahaketu dan permaisuri serta rakyat merayakan lahirnya Sang Budha dalam bentuk manusia (Sutasoma). Langit cerah, orang-orang tersenyum. Orang yang bunguk bisa berdiri tegak, orang yang sakit mendadak sembuh, dan yang lumpuh semuanya pulih. Para wanita menatap cerah lahirnya Sang Budha.
Sumber: I Gusti Bagus Sugriwa, 1985, Sutasoma Ditulis dengan Huruf Bali dan Latin diberi Arti dengan Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia, Bali: Proyek Bantuan Lembaga Pendidikan Agama Hindu
Kakawin Lubdhaka (Siwaratrikalpa)
hlm.453
Suatu malam, Lubdhaka, seorang pemburu dari suku terasing Nisada, berada di atas pohon, sedang di bawahnya terdapat danau. Dia berharap menemukan hewan buruan, tapi tak satupun datang. Dia menunggu, dan takut turun apalagi terjatuh, takut dimangsa hewan buas. Maka dia memetiki bunga Wilwa (pohon) untuk dimakan, lalu salah satu daun yang dia petik jatuh dan menimpa sebuah lingga.
hlm.454
Lubdhaka sakit lalu mati. Jiwanya terombang-ambing di angkasa. Jiwanya ditakdirkan untuk berada di genggaman Dewa Yama, namun Dewa Siwa memerintahkan abdi-abdinya untuk merebut jiwa Lubdhaka dan memasukkan jiwa Lubdhaka ke surga.
Sumber: Zoetmulder, P. J. (2024). Kalangwan: A survey of Old Javanese literature. Brill.
Tantu Panggelaran
hlm.77
Proses pemindahan Mahameru ke Pulau Jawa. Para Dewa beramai-ramai mengusung puncak Mahameru. WIsnu menjelma ular besar yang melilit Mahamemur, sementara Brahma menjadi Raja Kura-Kura. Mahameru diletakkan di atas punggung Raja Kura-Kura, lalu digotong melintasi samudra, diarak para Dewa.
hlm.78
Gunung Mahameru mengeluarkan air beracun. Para Dewa mati karena meminum air tersebut. Bathara Guru yang menyaksikan itu lalu segera menghisap seluruh ar racun yang bernama Kalakuta. Dimimum lalu ditahan di tenggorokannya. Oleh karena itu leher Bathara Guru menghitam layaknya toh.
hlm.78-80
Gunung Mahameru yang digotong, pecahannya berjatuhan sepanjang Pulau Jawa. Membentuk gugusan gunung, dari Barat ke Timur: Gunung Kalasa, Gunung Katong, Gunung Wilis, Gunung Kampud (Kelud), Gunung Kawi, Gunung Arjuna, Gunung Kemukus (Welirang), Pawitra, dan Semeru.
Sumber: Nurhajarini, Dwi Ratna and Suryami, Suryami and Guritno, Sri (1999) Kajian mitos dan nilai budaya dalam Tantu Panggelaran. Project Report. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Jakarta.
Sastra Lisan
Gua Gembyang
Raden Wijaya sedang duduk di atas batu menghadap cahaya besar. Di sisi kanan kirinya terdapat empat wanita yang sedang bercengkrama. Sedangkan di belakangnya, terdapat tiga pengikutnya duduk bersimpuh.
Sapta Rsi
Kisah tentang eksistensi ‘imajiner’ tujuh orang pembesar atau Rsi yang menjadi penasehat Majapahit.
Brawijaya Moksha
Gambaran tentang dua versi hilangnya Raja Terakhir Majapahit yang begitu ‘fiksi’, yakni Brawijaya yang moksha di Gunung Lawu lalu menjelma menjadi Jalak Putih, dan versi menyebrangnya Raja Brawijaya ke Pulau Bali.